Dulu, hal ini menjadi terlarang. Bahkan para sahabat sangat menjaga diri untuk tidak menyentuhnya. Namun, di zaman akhir ini, oleh para motivator dan sosok-sosok keren berdasi yang kemudian di-ustadz-kan, apa yang terlarang di zaman Nabi ini menjadi komoditas laris sebab dibungkus dengan dalil yang dipaksakan.
Para oknum motivator dan ‘ustadz’ itu, misalnya, dengan mudah berdalih, “Spesifikkan dalam berdoa. Agar semuanya menjadi kenyataan. Bahkan alam akan mendukung apa yang kita niatkan.” Lalu, dengan berapi-api, mereka mengatakan, “Mintalah detail. Mobil keluaran terbaru, tahun sekian, dari perusaah ini, warnanya, jumlah rodanya, jenis kursinya, kaca spionnya, harganya, dan lain sebagainya.”
Seakan-akan, mereka memiliki kuasa untuk mengatur Allah Ta’ala agar menuruti semua nafsunya dengan dalih, “Allah bersama prasangka hamba-hamba-Nya.” Padahal, sikap demikian itu sangat jauh dari apa yang mereka jadikan sebagai dalil.
“Ya Allah,” ucap anak dari ‘Abdullah bin Mughaffal, “sesungguhnya aku memohon kepada-Mu istana putih di sisi kanan surga, apabila saya memasukinya.”
Apa yang dipinta oleh anaknya ini, diingatkan oleh ayahnya, “Wahai anakku, mintalah surga kepada Allah Ta’ala, dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka.” Pasalnya, ‘Abdullah bin Mughaffal pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya akan ada suatu kaum dari umat ini yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa.” (Hr. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah)
Berlebih-lebihan. Itulah tafsir dari permintaan: istana berwarna putih, di sebelah kanan surga, apabila memasukinya (surga).
Senada dengan riwayat ini, ada juga orang yang berdoa, “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu surga dan kenikmatannya, keindahannya, dan demikian, demikian. Dan aku berlindung dari neraka, rantai-rantai, serta belenggu-belenggunya.”
Padahal, surga dan kenikmatannya adalah satu paket utuh. Sedangkan neraka dan siksaan di dalamnya adalah kesatuan yang mustahil dipisahkan satu dengan lainnya. Mereka yang berdoa meminta surga secara detail saja dikatakan berlebih-lebihan, bagaimana dengan orang yang hanya meminta dunia, mobil, sawah, dan perihal duniawi lainnya, lalu melupakan akhirat yang abadi? Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari apa-apa yang tercela, dan semoga mereka segera mendapatkan hidayah agar segera sadar dan memperbaiki segala kesalahannya. Aamiin.
Wallahu a'lam
Sumber ; kisah hikmah